Wayang Sasak Antara Pelestarian Tradisi Dan Alih Generasi
dibaca 2,712 kaliRADIO LOMBOK FM, LOBAR – Alunan gamelan menggema. Riuh rendah suaranya membahana keluar dari pengeras suara seakan memberi semangat kepada penonton atau penggemar tradisi wayang kulit ala Lombok yang cukup digandrungi.
Itulah Wayang Sasak yang kerap kali hadir menghibur masyarakat di berbagai tempat di Pulau Lombok ini hingga daerah terpencil sana yang sulit terjangkau sekalipun. Wayan Sasak kerap kali diundang oleh berbagai lembaga atau institusi baik kalangan pemerintah dan kelompok masyarakat sekalipun untuk sekedar menghibur masyarakat dan dijadikan pula sebagai media komunikasi dan informasi pembangunan dan syiar-syiar keagamaan guna melakukan pencerahan kepada masyarakat.
Wayang Sasak sering dipagelarkan di desa-desa hingga kawasan terpencil sekalipun. Bahkan pagelaran Wayang Sasak telah menjadi menu wajib setiap minggunya di Lombok. Tak lain tak bukan misinya untuk mengangkat kembali tradisi berkesenian yang dikwatirkan punah tertelan zaman teknologi informasi yang maju pesat. Alasannya, pergelaran wayang Sasak yang selama ini tidak mudah lagi ditemui, kini secara terjadwal bisa dipentaskan.
Pergelaran wayang Sasak yang biasanya hanya dipentaskan saat masyarakat melangsungkan upacara khitanan, pernikahan maupun acara-acara lainnya. Karena itu, cukup beralasan jika pementasan Wayang Sasak seperti oase, menggelora. “Sabetan” sang dalang yang begitu mahir memainkan bilah-bilah wayang dengan rancak serta semangat para penabuh gamelan yang mengiringi, seperti menggambarkan luapan berkesenian yang lama tak tersalurkan dengan baik.
Kelangsungan berkesenian wayang Sasak di Lombok diakui banyak pihak dalam beberapa waktu belakangan ini memang meredup. Wayang Sasak pernah mengalami masa keemasan antara tahun 1960 hingga 1970-an. Wayang Sasak pada masa itu sangat populer di masyarakat Pulau Lombok.
Kegelisahan tentang semakin suramnya wayang Sasak tersebut dirasakan sejumlah kalangan, diantaranya para sesepuh dalang wayang Sasak seperti HL Nasib AR dari Kampung Perigi, Gerung, Lombok Barat.
Pria yang sudah mulai mendalang sejak 1957 ini merasa prihatin dengan keberadaan wayang Sasak saat ini. Meski masih ada, tapi pementasan wayang Sasak kini intensitasnya jauh menurun. Pergelaran wayang Sasak saat ini bisa jadi hanya bisa ditemui pada acara-acara tertentu seperti perayaan maulid nabi, gawe adat, dan lain-lain. Itupun tidak sering dan tidak pasti.
Jika tidak ada upaya serius, bukan tidak mungkin dalam beberapa waktu kedepan banyolan Amaq Baok, Inaq Litet, Amaq Ocong, Amaq Amet, Jero Dangkem, dan Amaq Keseq (nama-nama dalam wayang Sasak) oleh para dalang wayang Sasak, akan menjadi pertunjukan langka, kendati kesenian itu sendiri telah memberikan kontribusi penting dalam perkembangan budaya di Lombok.
Tantangan yang dihadapi dunia pewayangan di Lombok saat ini cukup kompleks, diantaranya adalah masalah proses regenerasi yang tidak mudah, pengenalan wayang Sasak kepada masyarakat, khususnya melalui sekolah-sekolah, juga sangat kurang.
Karena itu, Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) NTB sangat merindukan berdirinya sekolah karawitan Sasak yang didalamnya mengajarkan mengenai pewayangan Sasak, sehingga keberadaan wayang Sasak semakin dekat dengan masyarakat, utamanya generasi muda.
Dalam analisa ataupun perspektif budayawan Lombok seperti H. Djalaludin Arzaki, mengakui bahwa NTB, khususnya di Pulau Lombok , memiliki khazanah seni budaya dan tradisi yang beraneka ragam. Untuk menjaga kelestariannya dibutuhkan komitmen yang kuat semua pihak, utamanya para pemangku kepentingan, agar kekayaan seni budaya dan tradisi ini tidak menjadi lembaran sejarah masa lalu.
Menurut dia, tidak hanya itu saja. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata juga mengarahkan agar kehidupan berkesenian terus bergairah, diantaranya dengan mengemas potensi seni budaya dan tradisi yang ada dalam suatu event.
Wayang kulit Sasak merupakan kesenian wayang yang tumbuh di kalangan suku Sasak di Pulau Lombok, NTB, sudah sejak lama. Pertunjukan dan wujud wayang Sasak mirip dengan wayang kulit di Jawa. Faktor yang membedakan “jagad pakeliran” di Jawa dan di Lombok barangkali adalah cerita-cerita yang dibawakan dan perangkat gamelannya.
Cerita-cerita Wayang Sasak mengambil cerita menak (Serat Menak), yakni cerita dengan tokoh utama Wong Agung Menak, tidak seperti wayang kulit di Jawa yang bersumber dari Mahabarata dan Ramayana. Meski begitu, kelampan (cerita) wayang kulit Sasak bisa jadi sama dengan wayang golek di Jawa yang juga bersumber dari cerita Menak.
Sedangkan gamelan yang mengiringi pertunjukan wayang Sasak jauh lebih sedikit ketimbang pergelaran wayang kulit di Jawa. Jika dalam pergelaran wayang kulit di Jawa mengenal gamelan-gamelan berupa kendang, kenong dan kethuk, bonang, saron, gender, gambang, kempul dan gong, rebab, siter, suling dan slenthem, sementara gamelan yang menyertai pementasan wayang Sasak tidak sebanyak itu, diantaranya ceng-ceng, suling, tawa-tawa, kendang, pleret, dan kempul.
Dengan sedikitnya gamelan dalam kesenian wayang Sasak, maka jumlah penabuh gamelannya (atau niyogo dalam kesenian wayang di Jawa) juga jauh lebih sedikit dibandingkan wayang di Jawa. Jika dalam wayang di Jawa mengenal penyanyi wanita yang disebut pesinden dan penyanyi pria yang disebut wira swara, dalam wayang Sasak peran itu diambil oleh dalang yang sekaligus sebagai dirigen.
Oleh sebab itu, pertunjukan wayang Sasak ada yang mengkatagorikan sebagai seni pertunjukan teater minimalis. Untuk sebuah pertunjukan wayang Sasak, hanya dibutuhkan sekitar 10 personil, terdiri dari seorang dalang, dua orang pembantu dalang untuk menata wayang ( pengabih atau pengawit) serta tujuh orang penabuh gamelan.
Pengamat wayang Sasak Ki Sadarudin mengemukakan bahwa wayang Sasak dan wayang kulit di Jawa memang banyak kemiripan. Cerita wayang di Lombok mengambil cerita Menak yang berasal dari Persia yang masuk ke Indonesia melalui tanah Melayu kemudian masuk ke Jawa dan tersebar sampai ke Lombok.
Cerita-cerita Menak tersebut menurut Kepala Sekolah SDN 4 Bajur, Lombok Barat ini ditulis di daun lontar dalam bahasa Jawa dengan huruf Jejawan (huruf Sasak). Cerita ini ditulis sesuai dengan peristiwanya seperti Bangbari, Gendit Birayung, Bidara Kawitan, Selandir, Dewi Rengganis dan lain sebagainya.
Sementara adegan dalam pergelaran wayang Sasak dibagi menjadi lima bagian utama, yakni pembuka atau pengaksama yang berisi permintaan maaf kepada penonton apabila dalam mendalang sang dalang beserta pengiringnya membuat kesalahan. |007|029|