Perang Topat Pertahankan Tradisi, Menjaga Toleransi
dibaca 1,235 kaliRitual budaya Perang Topat ditandai dengan raraknya kembang waru (gugurnya kembang waru). Seketika itu ribuan masyarakat yang selepas Zhohor sudah memadati lokasi acara melakukan atraksi saling lempar dengan menggunakan beberapa biji ketupat yang sudah disiapkan panitia.
Suasana gaduh dan riuh sembari berperang dengan ketupat sebagai senjata mereka terus dilakukan dalam rentang waktu 15 sampai dengan 30 menit.
Bupati Lombok Barat H. Fauzan Khalid, menjelaskan, tradisi Perang Topat merupakan bentuk pluralisme karena rangkaian acaranya melibatkan dua umat berbeda agama, yakni Islam dan Hindu.
Menurut Bupati, gambaran keharmonisan umat beragama tersebut bisa disaksikan sebelum puncak Perang Topat dimulai dengan ritual mengarak kerbau. Tokoh agama dari perwakilan umat Muslim dan Hindu memegang tali kerbau saat mengarak keliling taman Pura Lingsar.
Bupati menyebutkan, hanya kerbau saja yang diarak tidak yang lain seperti sapi atau babi. “Kerbau merupakansimbol penghormatan kepada umat Islam dan Hindu.
Alangkah indahnya kenyataan yang dibungkus dengan kesadaran total bahwa kita semua mahluk Allah SWT guna merajut persaudaraan dan perdamaian. Jadi filosopi Perang Topat yakni mempertahankna gtradisi menjaga toleransi,” tukas Bupati.
Mantan Ketua KPU NTB ini berkeinginan apa yang dilakukan di Lombok Barat seperti ini bisa dijadikan sebagai contoh bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dengan demikian komitmen warga negara yang sudah menyepakati Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap kokoh dan milik bersama demi menyongsong masa depan yang lebih baik.
Bupati juga meminta kepada Dinas pariwisata Lombok Barat untuk memastikan kalender penyelenggaraan tradisi Perang Topat agar bisa diketahui setahun sebelumnya.
“Saya minta Dinas pariwisata untuk bisa mendiskusikannya dengan seluruh pemangku adat supaya tanggal penyelenggaraan tradisi “Perang Topat” bisa dipastikan lebih awal,” katanya. (07/038)